Tujuh belas kali operasi di RSU Dr Soetomo dilakukan gratis untuk Siti Nur Jazilah alias Lisa.
Teknik rumit dan waktu panjang yang dibutuhkan untuk melakukan rekonstruksi wajah dan leher korban kekerasan akibat siraman air keras, Siti Nur Jazilah kemungkinan akan berakhir setelah operasi ke 17 yang dilangsungkan Rabu (27/2) di RSU Dr Soetomo Surabaya, hari ini.
Lisa sudah menjalani 16 kali prosedur pembedahan sejak 2006 tiap sesi berlangsung antara tiga hingga 12 jam di ruang bedah.
Kerusakan wajahnya begitu parah saat pertama dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, perempuan cantik asli Turen, Malang Jawa Timur sempat mengalami kesulitan bernapas karena tulang hidungnya melekat akibat siaraman air keras.
"Kita harapkan ini yang terakhir, meski pun kita tidak bisa bikin Lisa cantik lagi tapi ini hasil maksimal yang bisa diupayakan," kata Ketua Forum Pers RSU Dr Soetomo, Dr Urip Murtedja.
Rumah sakit terbesar di Surabaya itu membentuk sebuah tim lintas keahlian untuk menangani upaya reka ulang wajah Lisa yang terdiri dari sekitar 50 orang. Sebagian dokter bergelar profesor dan guru besar dari Universitas Airlangga dengan bidang keahlian dari bedan, anestesi hingga psikologi.
Tim merekonstruksi wajah Lisa dengan mereka ulang dagu, bibir, pipi, kelopak mata dan leher.
"Seluruhnya dilakukan dengan bedah mikroskopik yang sangat detil dan rumit jadi memang harus berulang-ulang dan dalam waktu lama," tambah Urip.
Prosedur bedah mekroskopik dengan mengganti jaringan parut akibat rusak oleh benda berbahaya seperti air keras dengan jaringan yang diambil dari tubuh pasien sendiri ini diyakini baru pertama dilakukan di Indoensia.
"Skala rekonstruksinya sangat luas, operasinya saja belasan kali dan tekniknya sangat canggih," kata Urip.
'Sudah realistis'
Selain operasi fisik, Lisa juga menjalani terapi psikologi dengan harapan dapat hidup mandiri .
Lisa, 28, juga menjalani terapi psikologi terus-menerus selama jalannya perawatan sejak enam tahun lalu.
Operasi rekonstruksi wajah akibat kejadian kekerasan dan traumatis menurut dokter sering kali gagal justru karena pasien tak siap dengan realitas pasca pembedahan.
"Lisa juga takut nanti tidak cantik lagi, dulunya kan dia primadona to," jelas Urip Murtedja.
Tapi sejak operasi ke-12 menurut tim dokter perempuan yang kini hidup mandiri dengan membuat asesori ini sudah mampu menerima kenyataan. Bolak-balik keluar masuk RS Lisa rajin ikut kegiatan sosial sekitar RS termasuk pameran karya kerajinannya agar dapat hidup mandiri.
"Jadi kita bukan cuma tangani operasi fisiknya tapi juga menyiapkan mentalnya, ini satu paket."
Berasal dari sebuah desa di Kecamatan Turen, Malang, Lisa sudah harus bekerja sejak muda karena berasal dari keluarga miskin. Tak jelas bagaimana dirinya bertemu dan dinikahi oleh Mulyono Eko, 48, hingga kemudian serangan dengan air keras itu terjadi.
Pengadilan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara atas kejahatan terhadap Lisa ini, tambah enam bulan karena Mulyono terbukti memalsukan surat nikah dengan Lisa.
Studi kasus berharga
Kasus KDRT dengan bentuk penyiraman air keras tidak banyak dilaporkan di Indonesia, meski dari waktu ke waktu media melaporkan terjadinya insiden mengerikan ini.
Dalam kasus Lisa, akibatnya sangat parah bahkans etelah 16 kali operasi.
"Jelas ciptaan Tuhan jauh lebih agung dan cantik, kita tak akan bisa menyamai bagaimanapun canggihnya"
"Jelas ciptaan Tuhan jauh lebih agung dan cantik, kita tak akan bisa menyamai bagaimanapun canggihnya," tambah Dr Urip Murtedja mengakui.
Jalannya operasi ini menarik perhatian publik sejak pembedahan pertama tahun 2006 termasukd ari praktisi bedah seluruh Indoensia yang emnyatakan tertarik.
"Ada dokter dari Jakarta, Bandung, daerah lain yang ingin ikut belajar dari kasus ini karena ini dianggap studi kasus yang langka dan penting. Ada juga permintaan melakukan prosedur serupa untuk pasien lain," tambah Urip.
Jika satu prosedur bedah plastik sederhana sedikitnya makan biaya puluhan juta, maka rangkaian operasi yang dijalani Lisa mungkin menghabiskan ongkos hingga miliaran rupiah.
Meski demikian Urip mengatakan tak menghitung pasti berapa biaya untuk prosedur yang dijalani Lisa ini.
"Yang jelas ini berkat Jamkesmas, kita selalu lapor pada Kementrian Kesehatan."