Rafli, Anak Yatim dan rintihan Aceh di masa konflik

Written By Unknown on Selasa, 10 Maret 2015 | 17.18

Sebagian karya penting Rafli mampu menyuarakan kegetiran Aceh saat wilayah itu dikoyak konflik bersenjata.

Dibesarkan dalam keluarga seniman yang mendalami musik tradisional, Rafli menggali khazanah musik tradisional Aceh dan kemudian memadukannya dengan musik modern.

Sebagian karya legendarisnya juga mewakili kegetiran Aceh saat wilayah itu dilanda konflik bersenjata yang berkepanjangan.

Ketika tsunami meluluhlantakkan Aceh sepuluh tahun silam, lagu berjudul Anak Yatim -yang mirip rintihan itu- mampu menyihir dan memeras emosi sebagian masyarakat Indonesia.

Berulang-ulang diputar oleh sebuah televisi swasta, lagu ini saat itu sekaligus membuat pencipta dan pelantunnya, yaitu Rafli, semakin dikenal oleh masyarakat banyak -- tidak semata di Aceh.

Pria kelahiran tahun 1967 di Samadua, Aceh ini menciptakan lagu tersebut ketika konflik bersenjata mendera Aceh yaitu tepatnya pada 1999.

"Ini syair yang merespon persoalan gejolak politik di Aceh. Ada pesan perdamaian yang saya sampaikan melalui lagu ini," kata Rafli, Jumat (27/02) kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon.

Nama Rafli makin dikenal masyarakat melalui lagu "Anak Yatim" yang mampu menyedot emosi masyarakat saat tsunami melanda Aceh.

Mampu menyedot perhatian masyarakat dua tahun kemudian, tetapi lagu sendu ini mencapai puncaknya saat tsunami melanda Aceh dan kelak selalu diputar dalam setiap peringatan bencana itu.

Selain muatan liriknya, Rafli mengaku lagu ini memiliki kekuatan pada irama yang dia warisi secara turun-temurun dari musik tradisional Aceh.

"Ada melodi, ada irama lokal pada lagu ini yang sangat kuat membumi pada masyarakat Aceh," kata mantan guru sekolah agama setingkat sekolah dasar ini.

Irama batin

Saat peringatan 10 tahun tsunami pada Desember 2014 lalu, lagu Anak Yatim ini diputar kembali dalam acara resmi di Banda Aceh.

Dan seperti sepuluh tahun silam, lagu ini tetap mampu menyedot emosi sebagian pendengarnya -sampai sekarang.

"Ini memang benar-benar irama batin. Karena saat itu kita hidup dalam konflik yang menggelisahkan. Ada kegelisahan yang harus dituangkan dalam senandung-senandung itu," ungkap pendiri grup musik Kande ini.

Namun demikian, ungkap Rafli, tidaklah gampang menuangkan senandung seperti itu dalam suasana konflik di Aceh di masa itu.

Rafli menggali inspirasi dari peninggalan syair-syair kuno Aceh untuk sebagian besar lirik dan irama lagunya.

"Apalagi dengan syair yang gamblang. Iramanya saja sampai dicurigai. Saya merasakan itu (dicurigai oleh aparat)," ungkap Rafli yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh.

Ditanya apa yang ada di benaknya ketika mengetahui lagunya seperti mampu mewakili kegetiran masyarakat Aceh saat dilanda tsunami dan konflik bersenjata yang berkepanjangan, Rafli berkata:

"Saya rasa, ini ada semacam sinergi alam, sinergi kondisi, sinergi rasa, yang sudah berproses lama."

Dia kemudian menambahkan: "Apakah orang luar tidak pernah mendengar rintihan ini. Ini suatu penyampaian universal bahwa persoalan kemanusiaan akhirnya tersampaikan juga dengan melodi ini."

Mewarisi musik tradisional Aceh

Diawali kegelisahan terhadap nasib musik tradisional Aceh, Rafli menggali inspirasi dari peninggalan syair-syair kuno Aceh untuk sebagian besar lirik dan irama lagunya.

Ayahnya, Muhammad Isa, dan ibunya, Masniar adalah seniman musik tradisional Aceh sangat mewarnai karakteknya dalam bermusik.

Dan dibesarkan dalam keluarga seniman yang mendalami musik tradisional Aceh, Rafli kemudian menggali khazanah musik tradisional itu dan memadukannya dengan musik modern.

"Saya merasa punya tugas penting untuk bisa menampilkan kandungan tradisional Aceh yang harus ditampilkan dalam bentuk modern dan dinamis," kata Rafli yang di masa mudanya pernah menggeluri musik rock ini.

Sikap Rafli yang tidak menolak sentuhan musik modern, rupanya, sesuai dengan pandangannya yang mendukung agar Aceh membuka diri terhadap nilai-nilai dari luar.

"Kita harus menawarkan Aceh terbuka akan hal-hal yang baru," kata Rafli yang pernah meraih penghargaan "Duta Perdamaian Aceh" dari sejumlah organisasi internasional.

Sikap Rafli yang tidak menolak sentuhan musik modern, rupanya, sesuai dengan pandangannya yang mendukung agar Aceh membuka diri terhadap nilai-nilai dari luar.

Namun demikian, lanjutnya, "kita tetap selektif dalam penyerapan dan penerapannya sesuai etika dan estetika Aceh."

"Contoh, syairnya berisi pesan pentingnya menjaga kebersamaan. Terus komposisinya lebih ke jazz tapi tetap ada instrumen tradisi. Nah, kalangan anak muda akan melihat ini sebagai sesuatu yang berkarakter bagi mereka: 'Kok terasa saya di Aceh'," ungkapnya.

"Kalangan muda yang sangat mudah terbawa arus dengan persoalan 'kemodernan', nah, mereka bisa masuk ke dimensi esensi apa yang ingin saya sampaikan," jelas Rafli yang pernah kuliah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini.

Lagu 'Seulanga'

Selain lagu Anak Yatim yang melejitkan namanya, ada satu lagu lainnya yang dianggapnya sebagai "karya terbaiknya" sejauh ini, yaitu Seulanga.

Seulanga adalah nama bunga dalam bahasa Aceh. Seperti lagu Anak Yatim, melalui perumpamaan bunga itu tadi, Rafli secara simbolis menggambarkan apa yang disebutnya sebagai kepiluan Aceh saat dilanda konflik.

"Membuat lagu Seulanga ini, ada semacam kepiluan yang sangat luar biasa saya pada Aceh," ungkap suami Dewi Lisnaida dan ayah empat anak ini, mulai bercerita.

"Aceh ini seperti bunga. Kami ini bunga yang harum, yang bersedia menebarkan semerbak kepada dunia, yaitu dalam konteks antara Aceh dan pemerintah pusat yaitu Indonesia. Tapi saya fikir kok disewenang-sewenangkan. Ada sedikit kepiluan ya, bukan keputusasaan."

Karena itulah, saat ini, Rafli mengaku sangat bersyukur setelah ada kesepakatan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia.

"Sepuluh tahun setelah perdamaian, banyak hal yang dicapai oleh Aceh, yaitu pertama adalah rasa aman yang luar biasa. Ini yang menjadi muara kerinduan karya-karya saya," kata Rafli.

"Sepuluh tahun setelah perdamaian, banyak hal yang dicapai oleh Aceh, yaitu pertama adalah rasa aman yang luar biasa. Ini yang menjadi muara kerinduan karya-karya saya," kata pemimpin grup musik Kande.

Dunia politik dan seni

Dan ditanya apakah pilihannya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Aceh tidak akan menggangu "proses kreasi" dalam dunia seni, Rafli menjawab secara diplomatis: "Saya punya jadwal konser seperti dulu."

"Kalau saya kunjungan kerja (sebagai anggota DPD), saya suruh menyiapkan panggung satu malam," ungkapnya.

Mengapa Anda tidak mendalami saja dunia musik saja? Tanya saya.

"Selama saya berkarya (dalam dunia musik), tidak mungkin (saya) tidak berpolitik. Semua karya saya bermuatan politik," tegasnya, masih dengan nada diplomatis.

"Dunia politik yang saya masuki sekarang, malah menjadi semakin tersampaikan apa yang ingin saya utarakan dalam karya-karya saya," kata Rafli.


Anda sedang membaca artikel tentang

Rafli, Anak Yatim dan rintihan Aceh di masa konflik

Dengan url

http://majalahviaonline.blogspot.com/2015/03/rafli-anak-yatim-dan-rintihan-aceh-di.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Rafli, Anak Yatim dan rintihan Aceh di masa konflik

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Rafli, Anak Yatim dan rintihan Aceh di masa konflik

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger