DST alias Dion Subiakto Team memang belum punya posisi dalam peta musik jazz Indonesia. Namun para individu seluruh kuartet ini sudah malang melintang, sebagai pemain kunci di berbagai kelompok musikus jazz mumpuni, dan tampil di berbagai festival internasional ternama.
Beruntunglah para penonton Jazz Buzz 2015 Salihara, Sabtu 14 Februari malam lalu, karena telah menjadi saksi dari lahirnya sebuah kelompok jazz yang sangat menjanjikan: DST, Dion Subiakto Team.
Menampilkan 8 nomor, DST memukau penonton sejak nomor pertama, "At Least Once," hingga nomor terakhir, "Wina."
Video Game
Ini memang konser perdana DST, namun bukan kebetulan maupun keberuntungan yang membuat mereka tampil di Jazz Buzz 2015.
Kurator musik Salihara, Tony Prabowo sudah lama mengenal seluruh anggota kuartet ini, yang dengan kelompok-kelompok terpisah sudah beberapa kali tampil di ruang budaya yang terletak di Jakarta Selatan itu. Baik bassis Shadu Rasidi, peniup saksofon Ricad Hutapea, pianis RM Aditya.
Dan tentu Dion Subiakto sendiri yang sering menabuh drum dalam berbagai penampilan Balawan, salah satu gitaris jazz Indonesia paling terkena, dan Indra Lesmana, salah satu musikus jazz terdepan Indonesia.
"Pertama kali saya melihat penampilan Dion, itu tahun lalu," kata Tony Prabowo.
"Waktu itu ia tampil sebagai pemain drum dalam pertunujukkan Indra Lesmana, di Salihara ini. Dan dia bermain bagus sekali. Potensinya luar biasa."
"Saya lalu berbicara dengan Dion untuk tahu lebih banyak. Ternyata dia sudah menulis beberapa komposisi. Yang sebagian besar terilhami dari permainan-permainan video game. Wah ini menarik. Namun pada perkembangannya, dalam konser di Jazz Buzz 2015, Dion rupanya mengubah konsepnya," tambah Tony Prabowo, yang dikenal juga sebagai komposer musik kontemporer.
Satu-satunya nomor yang bersumber dari permainan video game dalam konser ini adalah "Mario Jazz," yang didasarkan pada musik dalam permainan Mario Bross, yang disukai Dion Subiakto di masa kecilnya.
"Yang saya adalah prinsip dari musik-musik di permainan video ini adalah prinsip sederrhana dan menghibur," tutur Dion.
"Ini yang mengilhami saya. Namun bukan berarti dangkal: prinsip sederhana dan menghibur itu juga dibarengi kedalaman makna."
Setidaknya satu kali
Sederhana dan menghibur bisa tercermin langsung dari nomor pertama yang juga merupakan tema konser ini: At Least Once: Setidaknya Satu kali.
Sebuah nomor berwarna riang, yang ternyata merupakan karya yang tercipta spontan setelah mendapat undangan konser.
Konser dengan nama sendiri, dengan kelompok sendiri, katanya, adalah mimpinya sejak lama. "Yang saya berkhayal untuk mewujudkannya, setidaknya satu kali, dan ternyata kejadian sekarang," kata Dion terbahak.
Memang, sebagian besar komposisi karya Dion Subiakto memiliki riwayatnya sendiri-sendiri. Misalnya Main Sepeda, yang disebutnya sebagai tercipta secara kebetulan.
Waktu itu, sekitar tahun 2013, ia membantu anak sulungnya yang saat itu baru berusia lima tahun belajar sepeda.
"Dia beberapa kali jatuh. Lalu saya bantu, menyangga dari belakang. Dan setelah beberapa lama, dia bisa benar-benar naik sepeda sendiri. Tiba-tiba hal itu mengingatkan pada saya sendiri waktu kecil. Saya lihat ekspresi senyumnya, ekspresi mukanya, yang gembira dan bangga bisa main sepeda, ah indah sekali pemandangannya."
"Tiba-tiba melodi itu keluar. Ah, ini harus langsung saya tulis, pikir saya. Lalu lari mencari kertas, dan saya tulis sebagai notasi kasar pada awalnya. Saya endapkan beberapa malam. Sesudah moodnya saya dapat, saya rekam. Dan saya tambahkan instrumentasinya. Jadi boleh dibilang, ini lagu yang tidak sengaja penciptaannya.
Kerumitan pewayangan
Dion, seorang eksekutif sebuah perusahaan periklanan, tumbuh dalam keluarga yang menanamkan penguasaan musik. Kakaknya, Tya Subiakto, adalah seorang komposer yang juga sempat dikenal luas sebagai seorang konduktor orkestra yang populer.
Di masa kecil, Dion sebetulnya belajar piano klasik. Namun sejak mengenal drum di umur 10 tahun, ia lebih memilih mendalami alat perkusi itu.
Betapapun Dion, 34 tahun, tetap belajar dan bermain piano klasik, dari waktu ke waktu memainkan karya-karya komonis klasik dunia seperti Johan Sebastian Bach dan Chopin, yang katanya sangat membantu dalam menajamkan visinya sebagai musikus.
"Musik klasik membuat saya punya dasar untuk menjelajahi berbagai kerumitan komposisi, tapi tetap enak didenga," paparnya.
Dan itu terlihat misalnya pada "Pandawa," karyanya yang sejauh ini paling rumit.
Dari judulnya kita tahu, gagasannya datang dari lima sosok protagonis dalam epos pewayangan, Mahabharata.
Dion mengatakan, ia berusaha menyelami dan memahami kelima sosok Pandawa --seakan mereka hidup di dunia nyata dalam konfil nyata dengan Kurawqa yang berpuncak di perang Bharata Yudha.
Melukis dengan bunyi
"Saya berusaha menggambarkan kerumitan peperangan, munculnya harapan damai, perang lagi, damai lagi, dan seterusnya."
"Tetapi juga, Mahabharata bukan semata peperangan. Di dalamnya juga ada kisah asmara, kesetiaan, kehidupan manusia biasa. Saya berusaha menuangkannya, dalam semacam lukisan. Bukan sekadar groove, melodi atau harmoni. Karenanya terkadang di 'Pandawa' ini ada bunyi yang dibenturkan, ada not yang ditabrakkan, ada yang tidak 'masuk' harmoninya. Itu memang disengaja untuk menggambarkan suasana perang.
"Berbeda dari nomor-nomor lain, yang saya tulis umumnya sebagai curahan perasaan, dalam Pandawa ini saya ibaratnya berusaha melukis. Melukis dengan bunyi." ayah dua anak ini menuturkan.
Anda bisa mendengarkan perbincangan dan permainan Dion Subiakto Team dalam program Info Musika yang disiarkan melalui radio-radio mitra BBC Indonesia, Jumat 20 Februari 2014, mulai pukul 05.00 dan pukul 06.00 WIB.
Anda sedang membaca artikel tentang
DST, penampilan perdana yang memukau
Dengan url
http://majalahviaonline.blogspot.com/2015/02/dst-penampilan-perdana-yang-memukau.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
DST, penampilan perdana yang memukau
namun jangan lupa untuk meletakkan link
DST, penampilan perdana yang memukau
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar