Dunia mengalami penurunan angka hukuman mati kecuali Cina. Di luar Cina, terdapat 697 di tahun 2014 lalu, menurun dibanding 778 orang di tahun 2013. Sementara Indonesia mencatat enam vonis mati tahun 2014 itu namun tak seorangpun dieksekusi, sedangkan di kuartal pertama tahun 2015 ini sudah enam orang dieksekusi.
Lembaga pengamat HAM dunia, Amnesty International menyatakan dalam laporan tahunannya, terdapat kecenderungan yang mencemaskan.
Menurut mereka sejumlah negara melakukan eksekusi untuk menangani ancaman keamanan.
Eksekusi mati di tahun 2014 bagaimana pun mengalami penurunan, kecuali di Cina. Negeri itu mengeksekusi terpidana dalam jumlah yang lebih besar dibanding seluruh negara lain di dunia ini digabung jadi satu. Namun angka persisnya tetap dirahasiakan pemerintah.
Amnesty menyebut, setelah Cina, peringkat negara-negara yang melakukan hukuman mati tahun 2014 adalah:
Iran - 289 eksekusi yang diumumkan resmi dan sedikitnya 454 tak diakui; Saudi Arabia - sedikitnya 90 orang; lalu AS dengan sedikitnya 61 orang dan Mesir dengan sedikitnya 35 orang.
Di Mesir, ratusan orang divonis mati dalam pengadilan masal dua tahun terakhir dalam rangka memberangus kaum Islamis. Langkah Mesir dikecam keras dunia, dan PBB menyebutnya "tak pernah terjadi sebelumnya."
Di Nigeria, tercatat 659 orang dijatuhi hukuman mati, meningkat lebih dari 500 kasus dibanding tahun sebelumnya.
Awal tahun ini Pakistan membatalkan moratorium hukuman mati yang sudah berlangsung selama tujuh tahun, menyusul pembantaian terhadap siswa-siswi sebuah sekolah di peshawar, Desember lalu.
Ini pula yang terjadi di Indonesia. Pemerintah baru di bawah presiden Jokowi tak meneruskan moratorium hukuman mati yang dijalankan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhono. Dan justru belum genap 100 hari berkuasa, pemerintah Jokowi melakukan eksekusi terhadap enam terpidana, dan 10 orang lagi dalam proses-proses terakhir menjelang eksekusi.
Yang dicemaskan, kata Direktur Eksekutif lembaga pemantau HAM Imparsial, tahun 2014 ini Indonesia bisa jadi mencatat rekor eksekusi mati yang tinggi.
"Sudah ada enam orang dikeskeusi, 10 orang menunggu giliran, dan kata Jaksa Agung Prasetyo, masih ada 60 orang lain menunggu giliran. Dan Jaksa Agung menyebutnya, "stok." Sungguh mengerikan," kata Poengky pula.
Ini sangat disesalkan, setelah tahun 2014 lalu Indonesia masuk catatan bagus karena tak melakukan eksekusi."
"Ini sangat mencemaskan bagi kami. Ketika pemerintah SBY, kami, masyarakat sipil, setidaknya bisa berbicara dengan pemerintah. Ada pintu yang memang dibuka. Pada waktu itu setidaknya ada anggota Wantimpres Albert Hasibuan yang anti hukuman mati, dan Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo yang menentang hukuman mati. Sementara Wamen Denny Indrayana mendukung penuh moratporium hukuman mati.
"Dan sekarang, kami bingung dan kaget sekali. Pemerintah yang baru ini kami tak menyangka justru orang-orangnya konservatif. Dalilnya, hukum Indonesia masih mengakui hukuman mati, bahwa hukum positifnya begitu."
"Mereka kok tak melihat hukum itu sesuatu yang terbuka pada pembaharuan. Bahwa KUHP kita yang masih berisi hukuman mati itu, adalah kitab pidana peninggalan Belanda."
Sementara di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapuskan.
Yang sangat disesalkan Imparsial, kata Poengky, Jokowi dan aparat-aparatnya seperti menggunakan eksekusi mati ini untuk menyulut sentimen dukung rakyat kepada pemerintah.
"Jokowi dan Jakgung menjadikan hukuman mati sebagai quick win. Harusnya penegakkan hukum itu bukan sekadar eksekusi, namun pembenahan sistem," Pungkas Poengky.
Anda sedang membaca artikel tentang
Amnesty catat penurunan hukuman mati
Dengan url
http://majalahviaonline.blogspot.com/2015/04/amnesty-catat-penurunan-hukuman-mati.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Amnesty catat penurunan hukuman mati
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Amnesty catat penurunan hukuman mati
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar