Pemerintah Jepang berupaya meningkatkan jumlah perempuan karier demi mendorong perekonomian. Namun, upaya itu terhalang oleh sikap umum masyarakat Jepang.
"Jepang adalah bangsa ibu rumah tangga," kata jurnalis Touko Shirakawa saat mengomentari perempuan karier di 'Negeri Sakura'.
Jurnalis yang juga berprofesi sebagai dosen itu mengamini bahwa perempuan karier memang kian banyak di Jepang. Namun, menurutnya, status karyawati bukanlah norma yang berlaku bagi perempuan Jepang.
Pendapat Shirakawa disokong oleh Survei Nasional mengenai Keluarga yang dibuat Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan.
Survei pada 2013 itu menyebutkan 41,6% perempuan berusia 20-an tahun yang telah menikah menilai perempuan seharusnya tinggal di rumah dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Persentase itu merupakan peningkatan jika dibandingkan 35,7% responden yang berpendapat sama pada 2003.
Masih pada survei yang sama, dua-pertiga dari seluruh responden berpendapat kaum ibu seharusnya tidak kembali berkarier sampai anak mereka berusia tiga tahun.
'Abenomics'
Kondisi itu ingin diubah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. Melalui kebijakan yang dikenal dengan julukan Abenomics, Abe ingin membujuk kaum ibu untuk melanjutkan karier mereka setelah melahirkan. Bahkan, Abe menargetkan perusahaan-perusahaan Jepang memiliki 30% manajer perempuan pada 2020.
Masalahnya, lapangan pekerjaan yang tersedia bagi kaum ibu amat terbatas. Perusahaan layanan antar Sagawa Express, misalnya, hanya membolehkan perempuan yang memiliki anak untuk bekerja paruh waktu. Mereka digaji 1 juta Yen (Rp107,4 juta) per tahun.
"Sulit untuk mendapatkan pekerjaan penuh waktu setelah rehat panjang. Dan lebih umum bagi perempuan untuk meninggalkan dunia perusahaan selama beberapa tahun untuk membesarkan anak dan merawat orang tua," kata Satoko Ubukata, manajer umum perusahaan kimia Toray Industries.
Sikap masyarakat
Guna mendorong perempuan untuk bekerja, pemerintah berupaya menciptakan lapangan pekerjaan khusus bagi perempuan yang memiliki anak balita.
Meski demikian, sikap umum masyarakat Jepang menjadi tantangan bagi upaya tersebut.
"Saya merasa perusahaan jauh lebih menyukai pelamar yang tidak memiliki anak," kata Miyoko Takahashi, ibu satu anak berusia setahun, yang mencoba melamar pekerjaan.
Namun, Takahashi paham dengan pertimbangan tersebut.
"Saya mengerti alasannya. Sebab, saya adalah seorang ibu yang tidak bisa bekerja untuk waktu yang sangat lama. Jika saya yang menjadi bos perusahaan, mungkin saya juga memilih seorang calon karyawan yang tidak punya anak," ujarnya.
Anda sedang membaca artikel tentang
Perempuan Jepang lebih pilih rumah tangga ketimbang karier
Dengan url
http://majalahviaonline.blogspot.com/2015/03/perempuan-jepang-lebih-pilih-rumah.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Perempuan Jepang lebih pilih rumah tangga ketimbang karier
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Perempuan Jepang lebih pilih rumah tangga ketimbang karier
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar