Ayu Bulantrisna telah mendalami dunia tari semenjak berumur 7 tahun.
Ayu Bulantrisna Djelantik, salah-seorang maestro tari yang dimiliki Indonesia, telah mendedikasikan hidupnya pada dunia tari selama hampir 60 tahun.
Walaupun peristiwa itu terjadi lebih dari 50 tahun silam, Bulantrisna mengaku tidak dapat melupakannya sampai sekarang.
Dia menyebutnya sebagai salah-satu pengalaman paling menarik dalam perjalanan hidupnya.
"Saya tidak akan lupa. Itu terjadi ketika saya kecil, " katanya dengan mata berbinar, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Jakarta, Selasa, 24 Juni 2014 lalu.
Dengan ingatan yang masih terjaga, perempuan kelahiran Deventer, Belanda, 8 September 1947 ini, kemudian mengungkap pengalaman magisnya itu.
Peristiwa yang mirip ritual itu adalah momen ketika dia mempersiapkan diri menjelang pentas tari di sebuah pura di Desa Peliatan, Ubud, Bali, di awal tahun 1950-an.
"Melihat kelap-kelip lampu minyak yang ada di atas gapura, dan juga merasakan begitu banyak orang yang menunggu saya keluar," katanya mulai membuka pengalamannya itu.
Dia ingat betul detil-detil persiapan awal di balik gapura. "Mulai dari berpakaian, dibantu kakak penari, kemudian ada laki-laki tua yang membantu."
Bulantrisna (depan, nomor dua dari kiri) berfoto bersama para anak didiknya.
Ayu Bulantrisna mendalami tari Bali, terutama tari Legong, semenjak usia belia.
Puncaknya adalah ketika tiba waktunya dirinya untuk tampil ke panggung.
"Saya berdiri di tangga balik gapura untuk kemudian turun," ungkapnya mengenang. "Kemudian, saya mendengarkan gamelan masuk ke dalam tubuh saya..."
Musik gamelan masuk ke dalam tubuhnya. Inilah momen yang terus terpatri dalam jiwanya dan kelak diakuinya berperan besar dalam perjalanan hidupnya menggeluti dunia tari.
Biodata singkat
Nama: Ayu Bulantrisna Djelantik
Tempat, tanggal lahir: Deventer, Belanda, 8 September 1947.
Orang tua: Dr AA Made Djelantik dan Astri H Zwart.
Anak: Krishna, Bismo, Asmara.
Pendidikan: Strata 1 Dokter di Fakultas Kedokteran di Universitas Padjadjaran, Bandung (1975); Strata 2 Doctor Medizin di LM Universitas, Muncih, Germany (1989); Strata 3 bidang telinga, hidung dan tenggorokan di Universitas Antwerp, Belgia (1996).
"Peristiwa sebelum saya keluar (untuk menari), itu yang tidak saya lupakan... Itu suatu kebahagiaan."
Menari adalah nafas hidup
Menari adalah nafas hidupnya, begitulah yang sering dia lontarkan. Hampir enam dua puluh tahun, dia dedikasikan hidupnya untuk dunia tari.
Semenjak belajar menari di puri milik kakeknya di Karangasem, Bali, hingga menari atas nama Indonesia di berbagai panggung tari di manca negara.
Ayu Bulantrisna Djelantik, nama lengkapnya, adalah seorang maestro tari yang dimiliki Indonesia.
Sejak usia 10 tahun, Bulantrisna telah belajar menari di puri milik kakeknya di Karangasem, Bali.
Di usia 10 tahun, Bulan acap diundang menari oleh Presiden Sukarno untuk menghibur tamu-tamu negara di Istana Presiden Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Beranjak remaja, dia pun tampil menari di Istana Presiden di Jakarta dan berlanjut mewakili Indonesia untuk misi kebudayaan di luar negeri.
Ayu Bulantrisna bersama ayahnya, Anak Agung Djelantik.
Walaupun dia kemudian memutuskan meneruskan studi di Fakultas Kedokteran di Bandung (1965), Bulan tetap terlibat dalam dunia tari.
'Saya akan terus menari'
Anda pada 12 tahun sudah menari di Istana Tapaksiring, Bali, disaksikan Presiden Sukarno dan tamu negara?
Ya. Ada dua penari yang dipanggil, saya dan Suwarni. Saya diantar oleh ibu saya. Sejak itu, saya menari di Istana. Orang tua saya tidak pernah mengatakan: 'Jangan menari nanti sekolah nggak bagus'. Soalnya, saya menari sampai malam. Baik untuk upacara, turis dan kegiatan pemerintahan. Saya tidak pernah dilarang, walaupun besoknya ada ujian sekolah.
Karena angka ujian saya selalu bagus. Ha-ha-ha...Jadi mereka tidak pernah melarang.
Dari tiga anak-anak Anda, siapa yang mengikuti dunia tari seperti yang Anda tekuni?
Tidak ada yang seperti saya. Yang perempuan cuma belajar (menari). Yang lelaki lebih suka main layangan daripada belajar menari. Ha-ha-ha.. Kebetulan saya tinggal di luar Bali, yaitu Bandung. Jadi suasana tidak kondusif. Dan juga sejak zaman anak-anak saya, kurikulum padat sekali. Jadi sedikit sekali yang benar-benar mau terjun ke dunia tari.
Sejauh mana identitas Bali yang melekat pada diri Anda berpengaruh terhadap perjalanan hidup Anda?
Ternyata, sebagai orang 'campuran', saya selalu merasa tidak at home. Di Bali, saya agak bule, diganggu-gangguin: Hoi, anak Belanda.. Ha-ha-ha. Sebaliknya saat tinggal di Belanda, saya dianggap orang Asia. Jadi tidak Belanda juga.
Jadi, I am not at home.
Memang ada pergulatan waktu saya kecil. Tapi kemudian saya lebih berpegang pada budaya Bali. Mungkin saya lebih ekstra berusaha untuk mampu berpegang pada budaya kita.
Jadi boleh saya katakan indentitas Bali anda lebih mempengaruhi ketimbang unsur Belanda dari garis keturunan ibu Anda?
Ya, Bali yang lebih dominan. Tapi campuran dengan Belanda itu memberikan nilai positif. Ada hal-hal yang baik dari Barat yang saya pakai, misalnya praktis, nggak mau feodal. Jadi egaliter. Jadi saya ambil hal-hal dari Barat untuk menjalani hidup.
Kebetulan ayah saya juga begitu (tidak feodal). Ayah saya juga orang Bali, anak raja yang pertama di sekolah di negeri Belanda untuk program dokternya. Jadi dia mengalami hal-hal ini. Dia orang Bali yang kemudian dididik di Barat.
Jika bisa mengulang waktu, apakah yang Anda lakukan selama ini merupakan keputusan yang tepat?
Saya rasa iya. Saya kok puas, apa yang saya masukkan dalam 'kopor kehidupan saya'.. Ha-ha-ha...
Saya sekarang lebih ke kreativitas di bidang tari. Saya memberi bimbingan tari kepada anak-anak muda. Saya mulai pelan-pelan mundur dari dunia kedkoteran dan tari, untuk menikmati masa tua... Ha-ha-ha.. Karena fisik saya sudah berkurang 'kan.
Sampai kapan Anda menari?
Menari itu bisa di depan panggung, di samping panggung, di belakang panggung. Jadi saya akan terus menari.
Kalau menari di atas panggung, memang fisik saya makin lama tidak memungkinkan. Tapi masih banyak yang minta saya untuk terus menari. Jadi saya masih akan terus menari, tapi disesuaikan keadaan fisik.
Dia tetap dipercaya sebagai anggota misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
Ketika memilih untuk menikah pada 1971, Bulan sempat meniatkan untuk berhenti menari, tetapi ternyata dia tetap menari.
Kenyataan seperti ini juga dia lakoni ketika melanjutkan studi di Jerman, Belanda dan Belgia. Di negara-negara itu, dia sering diminta mengajar dan menari.
"Semua terjadi secara mengalir saja, saya tidak pernah merencanakan untuk terus menari," kata Ayu Bulantrisna, mengawali pembicaraan.
"Bahkan, saya sering berencana untuk berhenti menari," katanya seperti membuka rahasia," Tapi, ternyata tidak pernah terjadi."
Dari kenyataan itulah, Bulan yang berprofesi sebagai Dokter ahli telinga, hidung dan tenggorokan (THT) ini, kemudian menyimpulkan: "Ya, saya menganggap ini sudah jalan hidup saya."
Belakangan, ketika memasuki usia pensiun sebagai pegawai negeri dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, perempuan tiga anak dan tiga cucu ini kembali menekuni dunia tari.
"Saya kini memulai lagi kegiatan mendidik untuk anak-anak kecil," ungkap pencipta tari Legong Asmarandana (1996) ini.
Sang kakek yang menginspirasi
Di sela-sela wawancara, Bulantrisna menunjukkan dan membuka sebuah album foto bersampul hitam.
Isinya, bisa ditebak, adalah sejarah panjang perjalanan hidupnya di dunia tari.
"Ini pertama kali saya belajar menari…" Tangannya menunjuk pada foto hitam-putih persegi empat dengan warna yang mulai memudar.
Di usia yang sangat belia, yaitu sekitar 7 tahun, Bulan mulai belajar menari di puri kakeknya di Karangasem, Bali.
Kakeknya, Anak Agung Anglurah Djelantik, raja terakhir Karangasem, dikenal sangat mencintai seni dan arsitektur.
"Yang pertama kali menginspirasi saya (untuk mencintai tari) adalah kakek saya,"ungkapnya.
"Beliaulah (kakek) yang pertama memanggilkan guru tari," kata Bulan seraya jarinya menyentuh lembaran foto ketika sang kakek mendampinginya belajar menari di awal 1950-an.
Mulai saat itulah, Bulantrisna "kecil" berguru kepada para maestro tari seperti Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog,
"Dengan caranya masing-masing," ungkapnya sambil menyebut nama-nama guru tarinya itu, "semua memberi inspirasi."
Dengan caranya masing-masing? Tanya saya dalam hati. Belum sempat terkatakan, Bulan kemudian melanjutkan: "Ada yang bikin saya menangis... ha-ha-ha... Ada yang dengan kritik..."
Sebuah kerja keras yang tidak mudah, katanya. Tapi saya mengalir saja, lanjutnya cepat.
Sambil agak menerawang, ibu tiga anak dan tiga cucu ini lantas teringat sebuah proses latihan yang terkadang membuatnya sampai menangis:
Lantaran beberapa membuat kesalahan, katanya, "saya pernah menari dengan dipegang terus oleh guru saya, Biang (ibu) Sengog. Sakit juga. Rambut saya juga pernah terkait ke bajunya sehingga sakit," ungkapnya.
Unsur Ilahi dalam tarian
Dalam berbagai kesempatan, Bulantrisna selalu mengatakan: "Menari bukanlah bergerak mempertontonkan tubuh demi mendapatkan tepuk tangan penonton."
Dia juga menekankan, bahwa menari adalah "kegembiraan, pelepasan emosi terpendam, kreativitas, bergerak menurut pola dengan penjiwaan yang penuh, mempunyai makna... berbagi dan berdoa..."
Ayu Bulantrisna selalu menekankan kepada anak didiknya bahwa menari itu bukan cuma bergerak.
Untuk memudahkan Anda, wahai para pembaca, saya memulainya dengan mengajukan pertama kepada sang maestro tari Indonesia: Seperti apa menari dengan penjiwaan yang penuh itu?
"Kalau saya menari, seperti lupa daratan," katanya. Tidak ingat apa-apa dan tidak peduli menari untuk siapa, jelasnya.
Lalu? "Saya begitu senang kalau menari. Bahagia."
Ritual seperti ini dilakoninya semenjak belajar menari di masa belia, sehingga dia tidak menyadari siapa yang menontonnya.
"Jadi, waktu kita menari, kita masuk ke dalam peranan kita. Kalau penari berperan sebagai pencerita, dia bercerita. Kalau berperan sebagai penyambut tamu, saya menyambut."
"Jadi, waktu kita menari, kita masuk ke dalam peranan kita. Kalau penari berperan sebagai pencerita, dia bercerita. Kalau berperan sebagai penyambut tamu."
"Tapi," ujarnya tiba-tiba, seperti teringat sesuatu yang penting. "Dalam tarian itu ada unsur Ilahi."
Saya agak mengernyitkan dahi. Berpikir keras. "Itu mungkin yang membuat kita bersyukur kepada yang Maha Kuasa."
"Pada saat kita menari selalu ada rasa syukur," tandasnya. Dia kemudian mengaku selalu memberi latihan meditasi kepada murid-muridnya.
Ayu Bulantrisna dikenal karena keahliannya dalam tari Legong.
Lebih dari itu, Biang --begitu sapaannya, yang artinya "ibu" dalam bahasa Bali-- juga menekankan agar anak didiknya "mendekatkan diri pada sang Kuasa".
"Saya selalu menekankan, tari itu persembahan, bukan hanya kepada manusia tetapi juga pada lingkungan dan Yang Satu itu..."
Ketika menari dengan melalui semua tahapan itu, Bungatrisna mengaku sering mengalami apa yang disebutnya sebagai "ekstasi".
Derai tawanya pecah ketika saya meminta dia menggambarkan momen ekstasi yang dia alami. "Mungkin satu keadaan di mana kita bahagia dan rileks dan mendekat pada Yang Di atas."
Menari untuk diri sendiri
Meninggalkan Bali dan pindah ke Bandung untuk waktu yang lama, Bulantrisna pernah dihadapkan pertanyaan mendasar tentang tujuan menari.
"Kenapa saya menari buat orang lain?"
Pertanyaan dengan nada menggugat ini kemudian dia jawab sendiri: "Saya ingin menari untuk saya sendiri".
Kesadaran ini kemudian bermuara pada pendirian bengkel tari yang dia beri nama "Ayu Bulan" pada tahun 1994.
Sejak usia belia, Ayu Bulantrisna sudah mewakili Indonesia dalam misi seni ke manca negara.
Ayu Bulantrisna mengaku akan terus menari, walaupun gerakannya disesuaikan dengan usianya.
Bersama sanggar tari itu, Bulantrisna juga bertekad untuk "menghidupkan" tarian Legong yang disebutnya "mulai ditinggalkan" generasi muda lantaran kehadiran tari-tarian baru.
"Saya ingin memperdalam Legong," katanya.
Mulailah dia menggali tari tradisional yang dikenalnya saat belia di Desa Peliatan, Ubud, Bali, dengan memadukannya dengan tarian modern.
"Saya mulai berkreasi sendiri... Dan ternyata berhasil. Murid-murid saya mahasiswa senang, " ungkap Bulan.
'Jangan ubah pakem tari'
Melibatkan murid-muridnya yang terdiri bermacam suku, Bulantrisna saat itu kemudian berkreasi dan menciptakan tari Legong Asmarandana (1996).
Enam tahun kemudian, bersama seorang ahli tari dari Sekolah Tari dan Seni Indonesia, STSI, Bandung, dia membuat Legong Witaraga.
Ketika saya tanya apa komentarnya terhadap pendapat yang mengatakan tarian klasik tidak boleh dicampuri unsur-unsur baru, Bulantrisna mengatakan "setuju".
"Pakem-pakemnya, aturan-aturan mainnya, harus dipertahankan betul," katanya dengan nada tegas. "Pakemnya jangan berubah, gerakannya jangan berubah."
Namun demikian, lanjutnya, kita boleh mengubah pembungkusnya.
"Karena itu memang selalu berubah," tandasnya.
Dia lantas memberikan contoh: "Kalau dulu kita menari pakai baju dengan daun, dengan ada kain, kita lantas pakai kain... Nah di zaman modern, ketika kita mau pakai (pencahayaan) laser, mau pakai panggung gaya apapun, silakan saja. Ini kan cuma bungkusnya. Tapi gerakannya, intinya, tetap ada aturan."
Anda sedang membaca artikel tentang
Ayu Bulantrisna menari sepenuh jiwa
Dengan url
http://majalahviaonline.blogspot.com/2014/08/ayu-bulantrisna-menari-sepenuh-jiwa.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Ayu Bulantrisna menari sepenuh jiwa
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Ayu Bulantrisna menari sepenuh jiwa
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar