Tiga warga negara Indonesia mengisahkan perjalanan hidup mereka di tanah rantau Malaysia selama puluhan tahun terakhir hingga anak-anak mengenyam pendidikan formal.
Hingga kini mereka masih menjadi warga negara Indonesia tetapi sudah memegang izin penduduk tetap. Keturunan mereka menjadi warga negara Malaysia sehingga dapat masuk ke lembaga pendidikan pemerintah.
Anak-anak Petrus menjadi warga negara Malaysia
Petrus mengantar barang-barang ke hotel dan restoran hampir setiap hari.
Ketika masih berusia 17 tahun, Petrus mengikuti pamannya merantau ke Sabah, Malaysia.
Saat itu adalah tahun 1962 ketika Sabah masih dikuasai pemerintah kolonial Inggris.
"Saya bekerja sebagai pembantu rumah di rumah orang putih dengan gaji US$1 saja sehari, jadi US$30 setiap bulan," kata Petrus yang ditemui BBCIndonesia.com di pinggir jalan kota Tawau.
Dengan mengumpulkan gajinya, ia belajar mengemudi dan pada 1968 mendapat surat izin mengemudi.
Sekarang Petrus memegang kemudi lori untuk mengantarkan telur dan daging ke berbagai restoran dan hotel.
Gaji yang ia terima di perusahaan distributor setempat sebesar 1,000 ringgit atau sekitar Rp3,6 juta satu bulan.
Kelima anaknya sudah menjadi warga negara Malaysia, sedangkan Petrus dan istrinya mempunyai status penduduk tetap.
"Sebagai warga negara di sini anak-anak diberi kelonggaran belajar dan kemudahan-kemudahan lain sehingga senang mencari makan," ungkap Petrus.
Gabriel Nunang, tokoh masyarakat
Selain bekerja, Gabriel aktif di kegiatan gereja dan kemasyarakatan.
Gabriel meninggalkan kampung halaman di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1978. Seperti halnya perantau-perantau dari Timor, tujuan utama Gabriel adalah Sabah.
Awalnya ia bekerja sebagai buruh ladang tetapi karena gajinya sangat kecil Gabriel pindah perusahaan menjadi tukang sapu di perusahaan cleaning service.
Kini ia menjadi mandor di perusahaan yang sama.
"Selama saya kerja kurang lebih 25 tahun, perusahaan masih suka saya meskipun saya berpaspor Indonesia," tutur Gabriel yang menjadi tokoh masyarakat Indonesia di wilayah Tawau.
Perusahaan, lanjutnya, memberikan kelonggaran dan fleksibilitas bila ia melakukan kegiatan gereja atau membantu sesama pekerja dari Indonesia.
Sebagai tokoh masyarakat Indonesia, nama Gabriel Nunang tertera di berbagai surat resmi sebagai saksi untuk kepentingan pengurusan akta kelahiran atau pernikahan.
Tambah umur
David mengaku bisa bersandar pada anak-anak bila tidak kuat lagi bekerja.
Halaman di sebuah sekolah Cina di kota Tawau tampak hijau dan rapi. Keindahan taman sekolah yang luas ini berada di tangan David, asal Adonara.
Menurut surat kelahiran dari kampung, mestinya ia berusia 73 tahun tetapi karena ketika masuk ke Malaysia pada tahun 1960 umurnya masih belasan tahun maka usianya dimodifikasi.
"Di kartu penduduk tetap umur saya sekarang 82 tahun," kata David.
Kelima anaknya sudah menyelesaikan pendidikan di Malaysia bahkan sampai tingkat perguruan tinggi.
"Kalau balik ke Indonesia, mungkin akan sulit mendapatkan pekerjaan seperti ini dengan gaji yang setara. Umur saya juga sudah begini, lanjut usia. Di sini saya 'kan juga bersandar pada anak-anak," cerita David.
Anda sedang membaca artikel tentang
Anak jadi WN Malaysia 'buka akses'
Dengan url
http://majalahviaonline.blogspot.com/2013/12/anak-jadi-wn-malaysia-buka-akses.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Anak jadi WN Malaysia 'buka akses'
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Anak jadi WN Malaysia 'buka akses'
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar